Penyebab Penyakit Kaki Gajah

Penyakit kaki gajah atau filariasis limfatik ditandai adanya pembengkakan, dikutip dari Healthline.

Kaki gajah juga mengakibatkan kulit kering, tebal, ulserasi, warna gelap dari biasanya, dan berbintik.

Beberapa orang juga mengalami gejala demam, kedinginan, dan penurunan sistem kekebalan tubuh.

Orang dengan kondisi ini berisiko lebih tinggi mengalami infeksi.

Mengutip Medical News Today, penyakit kaki gajah tersebab tiga jenis cacing mikroskopis berbentuk benang, yaitu wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.

Sebagian besar kasus tersebab wuchereria bancrofti.

Jenis cacing gelang ini menyebar melalui sengatan nyamuk.

Beberapa spesies nyamuk yang menularkannya, yakni anopheles yang juga menularkan malaria.

Nyamuk aedes juga menularkan virus demam berdarah dan zika.

Saat tersengat nyamuk yang membawa larva cacing penyebab kaki gajah akan masuk melalui kulit.

Larva cacing kemudian berpindah ke limfatik melalui aliran darah.

Cacing bisa tumbuh dan menjadi dewasa.

Cacing dewasa hidup dan berkembang biak di dalam tubuh manusia selama enam sampai delapan tahun.

Mengutip Verywell Health, cacing bisa sangat merusak bagian dalam tubuh manusia karena bersarang di sistem limfatik.

Jaringan organ dan yang kompleks itu berfungsi untuk melindungi tubuh dari penyakit dan mengatur cairan dalam tubuh.

Dalam beberapa kasus, pembengkakan yang terjadi setelah infeksi kaki gajah juga hasil dari sistem kekebalan tubuh yang mencoba untuk membersihkan dari cacing.

Namun, terkadang peradangan juga disebabkan adanya infeksi bakteri yang merusak sistem kekebalan tubuh.

Infeksi sekunder ini yang menyebabkan kaki gajah dan perubahan tubuh lainnya.

Mengutip Medical News Today, biasanya dokter lebih dulu mengambil riwayat medis, menanyakan gejala yang dirasakan, dan melakukan pemeriksaan fisik.

Setelah itu berlanjut pemeriksaan darah untuk memastikan infeksi parasit.

Sebab, cacing gelang paling aktif pada malam hari, biasanya sampel darah dikumpulkan selama waktu tersebut, sebagaimana dikutip dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Prosedur sinar-X dan ultrasound juga bisa diterapkan.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *